Awal Juni 2012, beredar teks pidato
Rais Syuriah PBNU KH. A. Hasyim Muzadi di beberapa media online. Sebagian media
lantas memuat berita beredarnya pidato itu dengan judul “Inilah Pidato KH.
Hasyim yang Menghebohkan Itu”.
Saat dikonfirmasi oleh wartawan,
mantan Ketua Umum PBNU dua periode itu membenarkan isi pidato yang tersebar.
Statemen itu diungkapkannya saat menghadiri diskusi Peran Tokoh Islam dalam
Perumusan Pancasila di gedung PP Muhammadiyah di Jakarta Pusat, pada Jum’at
(1/6) malam. Kegiatan ini dihadiri sejumlah tokoh seperti Amien Rais dan Jimly
Asshiddiqie.
Secara umum, isi pidato Kiai Hasyim
adalah respon atas tuduhan negara-negara anggota PBB yang menurut mereka, warga
Indonesia kian menunjukkan sikap intoleransi beragama sehingga banyak terjadi
kasus kekerasan. Karena itu, Indonesia didesak peserta sidang Dewan HAM PBB melalui
mekanisme UPR (Universal Periodic Review) di Jenewa, Swiss, pada akhir Mei
lalu, untuk memperhatikan dengan serius isu intoleransi beragama yang ada di
Indonesia. Dalam sidang tersebut, Indonesia dievaluasi oleh nyaris 40% negara
anggota atau sebanyak 74 negara di sesi ke-13. Menurut mereka, intoleransi di
Indonesia harus menjadi perhatian serius.
Selain itu, RI juga didorong untuk
meratifikasi konvensi ILO (International Labor Organization) untuk Pekerja
Rumah Tangga 189 dan segera mengambil kebijakan untuk menangani masalah Papua.
Maka di depan Dewan HAM PBB, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri
Luar Negeri Marty Natalegawa berjanji akan meletakkan persoalan kebebasan
beragama sebagai prioritas kerja pemerintah Indonesia.
Di tengah desakan negara-negara
itulah Kiai Hasyim Muzadi yang juga Presiden WCRP (World Conference on
Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for Islamic
Scholars)memberikan jawaban atas tuduhan itu. Berikut isinya:
“Selaku
Presiden WCRP dan Sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi
agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu pasti karena laporan dari
dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara
muslim manapun yang setoleran Indonesia.
Kalau yang
dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, memang karena Ahmadiyah menyimpang
dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan
berorientasi politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri,
pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam.
Kalau yang
jadi ukuran adalah GKI Yasmin Bogor, saya berkali-kali kesana, namun tampaknya
mereka tidak ingin sdlesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional
dan dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai.
Kalau
ukurannya pendirian gereja, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa, pendirian
gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit.
Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi.
Kalau
ukurannya Lady Gaga dan Irshad Manji, bangsa mana yang ingin tata nilainya
dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan
intelektualisme kosong.
Kalau
ukurannya HAM, lalu di Papua kenapa TNI/Polri/Imam Masjid berguguran tidak ada
yang bicara HAM? Indonesia lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai
sekarang tidak memperbolehkan Menara Masjid, lebih baik dari Perancis yang
masih mempersoalkan Jilbab, lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia yang
tidak menghormati agama, karena di sana ada UU Perkawinan Sejenis. Agama mana
yang memperkenankan perkawinan sejenis?
Akhirnya
kembali kepada bangsa Indonesia, kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan
tegas, membedakan mana HAM yang benar (humanisme) dan mana yang sekedar
Westernisme”.
Taken from: Majalah Aula, p. 54. (Juli,
2012).
0 comments:
Posting Komentar